Mojokerto, Enero – PT Energi Agro Nusantara (Enero) mengungkapkan tantangan pengembangan Bioethanol sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN) dirasa masih berat dilaksanakan di Indonesia.
President Director PT Enero, Izmirta Rachman menjelaskan, sampai saat ini ethanol yang diproduksi Enero untuk pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) masih jauh dari harapan.
“Sampai saat ini ethanol dijual untuk industrial dan pharma grade ethanol, sedangkan untuk campuran BBM yang nantinya dijadikan BBN masih kecil porsinya. Pemanfaatan e
sebagai BBN dalam negeri selama 3 tahun ini, kurang dari 0,1% dari kapasitas produksi tahunan kami” ujarnya kemarin di acara Focus Group Discussion (FGD) Pengembangan Bioethanol yang dihadiri berbagai pihak terkait seperti Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur, Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur, PT Perkebunan Nusantara X, P3GI dan Tim Peneliti Independen, Sustainability and Resilence Co di PT Enero.
“Terakhir kali di tahun 2016, Pertamina membeli ethanol hanya 8.000 liter yang digunakan untuk Pertamax Racing, sementara kapasitas produksi kami sehari saja bisa mencapai 100.000 liter. Dalam skala nasional, program pemanfaatan BBN dalam negeri di tahun ini sudah mengharuskan penggunaan ethanol untuk BBN minimal 2% dari konsumsi BBM PSO (Public Service Obligation) dan 5% dari konsumsi BBM non PSO atau seharusnya di tahun 2016 sudah wajib terserap total 670 juta liter per tahun” lanjut Izmirta
Hasil koordinasi terakhir, Enero dengan pihak-pihak pemangku kepentingan seperti Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, produsen bioethanol dan produsen penyerap BBN, seperti Pertamina, Total Oil Group, Shell, terkendala harga jual produk dan regulasi penggunaan tangki bioethanol.
“Harga jual yang sudah ditetapkan Pemerintah masih belum diterima pihak pasar, sehingga produk kami belum terserap. Harga yang diinginkan produsen penyerap BBN dibawah biaya produksi kami. Disparitas harga ini, perlu ditindaklanjuti dengan kesamaan persepsi bahwa BBN ini untuk kepentingan kita bersama ” lanjut Izmirta
“Di sisi lain, tangki lokasi pencampuran BBN ke BBM, mensyaratkan penguasaan kepemilikan oleh 1 (satu) perusahaan saja, sementara regulasi antar produsen penyerap BBN tidak demikian. Sistem yang dianut adalah commingled tanks, dimana produk dapat ditimbun di satu tangki untuk beragam perusahaan. Diperlukan titik temu antara kepentingan bisnis dan regulasi, jika tidak diselesaikan, maka pengembangan ethanol akan terhambat” beber Izmirta
Menurutnya, tantangan BBN khususnya bioethanol sangat berat. Pihak yang berkepentingan perlu saling berintegrasi dalam mengawal mandatori pengembangan BBN ini.
Dalam acara ini, tim peneliti independen jugaa mengungkapkan bahwa perlunya kajian terkait Social Network Analysis (SNA) pengembangan bioethanol di Indonesia. Tujuan utama adalah untuk pemetaan pemangku kepentingan yang dinilai berperan pada pengembangan bioethanol di Indonesia, supaya pengembangan dapat dikawal dan berkelanjutan, sehingga diperlukan analisa dari potensi bahan baku tebu sampai produksi bioethanol begitu juga pasar untuk analisa lanjutan.
“Perlu dipetakan, siapa yang berperan lebih pada pengembangan bioethanol di Indonesia, supaya pengembangan dapat dikawal dan berkelanjutan” ujar Auditya Sari, salah satu peneliti independen yang hadir dalam acara.
Beberapa masukan dalam acara FGD tersebut yang dapat dijadikan poin penting dalam menjawab tantangan pengembangan BBN, yang pertama, Pemerintah diharapkan mengatur kebutuhan domestik baik molasses (bahan baku ethanol) dan ethanol dalam bentuk domestic market obligation. Jika kebutuhan domestik sudah terpenuhi, baru ekspor seharusnya dapat dilakukan.
Kedua, Pemerintah, melalui Direktorat Bea Cukai, diharapkan memberikan relaksasi terhadap peraturan dari pembelian, penyimpanan dan pendistribusian ethanol. Selama ini ethanol masih dikategorikan barang kena cukai, sehingga distribusi ethanol masih terus diawasi Pihak Bea Cukai. Sementara ethanol untuk BBN tidak didedikasikan untuk minuman. Salah satu cara penyelesaiannya, dengan cara denaturasi atau merusak komposisi kimia ethanol sehingga tidak layak sebagai minuman dan ethanol untuk BBN mudah didistribusikan.
Ketiga, Pemerintah dapat memberikan sistem reward dan punishment kepada produsen penyerap BBN dengan equal treatment atau perlakuan yang setara antar produsen.
Keempat, Pemerintah diharapkan memberikan subsidi maupun insentif bagi produsen BBN. Cara ini akan mendorong produsen untuk meningkatkan kapasitas produksi bahkan menstimulasi produsen-produsen bioethanol baru lainnya.
Perlu diketahui kondisi saat ini, produsen BBN seperti Enero masih berusaha mandiri dalam menjalankan operasional perusahaan dengan tujuan menciptakan nilai keekonomisannya sendiri. (arh)